BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
belakang
Beberapa tahun terakhir ini kita dikejutkan oleh pemberitaan media
cetak serta elektronik tentang kasus-kasus kekerasan pada anak, dan beberapa di
antaranya harus mengembuskan napasnya yang terakhir. Menurut data pelanggaran
hak anak yangdikumpulkan Komisi Nasional Perlindungan Anak . Dari data induk lembaga
perlindungan anak yang ada di 30 provinsi di Indonesia dan layanan pengaduan lembaga tersebut, pada tahun 2006 jumlah kasus pelanggaran hak anak yang
terpantau sebanyak 13.447.921 kasus dan pada 2007 jumlahnya meningkat
40.398.625 kasus. Disamping itu Komnas
Anak juga melaporkan bahwa selama periode
Januari-Juni 2008 sebanyak 12.726 anak menjadi korban kekerasan
seksual dari orang terdekat merekaseperti
orang tua kandung/tiri/angkat, guru, paman, kakek dan tetangga. Data
statistik tersebut, ditambah dengan data-data tentang jumlah kasus penculikan anak, kasus perdagangan anak, anak yang terpapar
asap rokok, anak yang menjadi korban peredaran
narkoba, anak yang tidak dapat mengakses sarana pendidikan, anak yang belum
tersentuh layanan kesehatan dan anak yang tidak punya akta kelahiran, memperjelas
gambaran muram tentang pemenuhan
hak-hak anak Indonesia. Kenakalan anak adalah
hal yang paling sering menjadi penyebab kemarahan orang tua, sehingga anak menerima
hukuman dan bila disertai emosi maka orangtua tidak segan untuk
memukul atau melakukan kekerasan fisik. Bila hal ini sering dialami olehanak maka
akan menimbulkan luka yang mendalam pada fisik dan batinnya. Sehingga akan
menimbulkan kebencian pada orang tuanya dan trauma pada anak. Akibat lain dari kekerasan anak akan
merasa rendah harga dirinya karena merasa pantas mendapat hukuman sehingga menurunkan prestasi anak
disekolah atau hubungan sosial dan pergaulan dengan teman - temannya
menjadi terganggu, hal ini akan
mempengaruhi rasa percaya diri anak yang seharusnya terbangun sejak kecil. Apa yang dialaminya akan membuat anak meniru kekerasan dan bertingkah laku agresif dengan
cara memukul atau membentak bila timbul rasa kesal didalam dirinya.
Akibat lain anak akan selalu cemas,mengalami
mimpi buruk, depresi atau masalah-masalah disekolah.
1.2 Rumusan
Masalah
Kekerasan yang dilakukan banyak
orang terhadap anak dan perempuan, mempunyai dampak yang kurang baik. adapun
seperti beberapa pertanyaan di bawah ini, antara lain:
1.2.1
Apakah kekerasan terhadap anak itu ?
1.2.2
Faktor-faktor apa sajakah yang membuat
seseorang sering melakukan tindakan kekerasan tersebut ?
1.2.3
Apa yang terjadi pada anak jika
kekerasan yang dilakukan sangat menyiksa ?
1.2.4
Berikan solusi untuk Mencegah Terjadinya Kekerasan Terhadap
Anak ?
1.2.5
Bagaimana upaya pemerintah untuk
menyikap kekerasan tersebut ?
1.3 Tujuan
Penulisan
1.3.1
Mengetahui
sebab-sebab terjadinya kekerasan pada anak.
1.3.2
Mengidentifikasi
faktor-faktor yang membuat seseorang melakukan tindakan kekerasan.
1.3.3
Mengetahui
kondisi anak yang mengalami tindakan kekerasan.
1.3.4
Mencari
solusi untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak.
1.3.5
Mencari tahu penyebab terjadinya
kekerasan terhadap anak.
1.4 Manfaat
Penulisan
Manfaat Penulisan dari karya ilmiah
ini adalah untuk menyadari orangtua bahwa sebenarnya kekerasan terhadap anak
tidak lagi pantas dilakukan, karena anak-anak juga mendapat perlindungan dari
Komisi Perlindungan Anak. Disini juga anak-anak harus menjaga sikap sehingga
emosi orangtua tidak terpancing untuk melakukan tindakan kekerasan. Oleh karena
itu, perlu adanya kesadaran dari dalam diri, baik orangtua maupun anak.
·
Bagi
penulis
Untuk menyelesaikan tugas Bahasa Indonesia.
·
Bagi
lembaga/ tempat.
Sebagai rujukan untuk penulis selanjutnya dalam
menyelesaikan karya ini dengan topic yang sama.
·
Bagi
masyarakat atau pembaca.
Sebagai pedoman agar tidak terjadinya tindakan kekerasan.
1.5
Sistematika penulisan
Adapun sistematika
penulisan makalah ini yaitu:
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar
belakang masalah
1.2 Rumusan
masalah
1.3 Tujuan
penulisan
1.4 Manfaat
penulisan
1.5 Sistematika
penulisan
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Uraian materi
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian kekerasan terhadap
anak
Banyak
orangtua menganggap kekerasan pada anak adalah hal yang wajar. Mereka
beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak. Mereka lupa bahwa
orangtua adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam mengupayakan
kesejahteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan
tumbuh kembang anaknya. Keluarga adalah tempat pertama kali anak belajar
mengenal aturan yang berlaku di lingkungan keluarga dan masyarakat. Sudah
barang tentu dalam proses belajar ini, anak cenderung melakukan kesalahan.
Bertolak dari kesalahan yang dilakukan, anak akan lebih mengetahui
tindakan-tindakan yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, patut atau tidak patut.
Namun orang tua menyikapi proses belajar anak yang salah ini dengan kekerasan.
Bagi orangtua, tindakan anak yang melanggar perlu dikontrol dan dihukum. bagi
orangtua tindakan yang dilakukan anak itu melanggar sehingga perlu dikontrol
dan dihukum.
Wikipedia
Indonesia (2006) memberikan pengertian bahwa kekerasan merujuk pada tindakan
agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemerkosaan, pemukulan, dll.) yang
menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang
lain. Istilah kekerasan juga berkonotasi kecenderungan agresif untuk melakukan
perilaku yang merusak. Kekerasan terjadi ketika seseorang menggunakan kekuatan,
kekuasaan, dan posisi nya untuk menyakiti orang lain dengan sengaja, bukan
karena kebetulan (Andez, 2006). Kekerasan juga meliputi ancaman, dan tindakan
yang bisa mengakibatkan luka dan kerugian. Luka yang diakibatkan bisa berupa
luka fisik, perasaan, pikiran, yang merugikan kesehatan dan mental.kekerasan
anak Menurut Andez (2006) kekerasan pada anak adalah segala bentuk tindakan
yang melukai dan merugikan fisik, mental, dan seksual termasuk hinaan meliputi:
Penelantaran dan perlakuan buruk, Eksploitasi termasuk eksploitasi seksual,
serta trafficking/ jual-beli anak. Sedangkan Child Abuse adalah semua bentuk
kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh mereka yang seharusnya bertanggung
jawab atas anak tersebut atau mereka yang memiliki kuasa atas anak tersebut,
yang seharusnya dapat di percaya, misalnya orang tua, keluarga dekat, dan guru.
2.2
Sebab terjadinya kekerasan pada anak
Banyak
orang sukar memahami mengapa seseorang melukai anaknya. Masyarakat sering
beranggapan bahwa orang yang menganiaya anaknya mengalami kelainan jiwa. Tetapi
banyak pelaku penganiayaan sebenarnya menyayangi anak-anaknya namun cenderung
bersikap kurang sabar dan kurang dewasa secara pribadi. Karakter seperti ini
membuatnya sulit memenuhi kebutuhan anak-anaknya dan meningkatkan kemungkinan
tindak kekerasan secara fisik atau emosional. Namun, tidak ada penjelasan yang
menyeluruh tentang penganiayaan pada anak. Hal itu terjadi sebagai akibat
kombinasi faktor dari kepribadian, sosial dan budaya. Menurut Richard
J. Gelles, Ph.D. Faktor-faktor penyebab penganiayaan ini dapat
dikelompokkan dalam empat kategori utama, yaitu sebagai berikut :
2.2.1 Penyebaran perilaku jahat antar
generasi
Banyak anak belajar perilaku jahat dari orang tua mereka dan kemudian
berkembang menjadi tindak kekerasan. Jadi, perilaku kekerasan diteruskan antar
generasi. Penelitian menunjukkan bahwa 30% anak-anak korban tindak kekerasan
menjadi orang tua pelaku tindak kekerasan. Mereka meniru perilaku ini sebagai
model ketika mereka menjadi orang tua kelak.
Namun, beberapa ahli percaya bahwa yang menjadi penentu akhir adalah apakah
anak menyadari bahwa perilaku kasar yang dialaminya tersebut salah atau tidak.
Anak-anak yang yakin bahwa mereka berbuat salah dan pantas mendapat hukuman
akan menjadi orang tua pelaku kekerasan lebih sering daripada anak-anak yang
yakin bahwa orang tua mereka salah kalau berlaku kasar pada mereka.
2.2.2
Ketegangan Sosial
Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan risiko
tindak kekerasan pada anak dalam sebuah keluarga. Kondisi ini mencakup :
• Pengangguran.
• Sakit-penyakit.
• Kemiskinan dalam rumah tangga.
• Ukuran keluarga yang besar.
• Kehadiran seorang bayi atau orang cacat mental dalam rumah.
• Kematian anggota keluarga.
• Penggunaan alkohol dan obat-obatan.
2.2.3
Isolasi sosial
Para orang tua atau pengasuh yang melakukan tindak kekerasan pada anak
cenderung kurang bersosialisasi. Beberapa orang tua pelaku kekerasan bahkan
bergabung dengan berbagai organisasi kemasyarakatan, dan kebanyakan kurang
berkomunikasi dengan teman-teman atau kerabatnya. Kurangnya sosialisasi ini
menyebabkan kurangnya dukungan masyarakat pada orang tua pelaku tindak
kekerasan untuk menolong mereka menghadapi ketegangan sosial atau ketegangan
dalam keluarga.
Faktor budaya sering menentukan banyaknya dukungan komunitas yang diterima
sebuah keluarga. Komunitas itu berupa para tetangga, kerabat dan teman-teman
yang membantu pemeliharaan anak ketika orang tuanya tidak mau atau tidak mampu.
Di AS, para orang tua sering menaruh tanggung jawab pemeliharaan pada diri anak
sendiri, yang berisiko tinggi mengakibatkan tegangan dan tindak kekerasan pada
anak.
2.2.4.
Struktur Keluarga
Tipe keluarga tertentu memiliki risiko anak terlantar dan terjadi tindak
kekerasan pada anak. Sebagai contoh :
• Orang tua tunggal lebih sering melakukan tindak kekerasan pada anak-anak
daripada bukan orang tua tunggal. Hal ini disebabkan keluarga-keluarga dengan
orang tua tunggal biasanya lebih sedikit mendapatkan uang daripada keluarga
lainnya, sehingga hal ini dapat meningkatnya risiko tindak kekerasan.
• Keluarga-keluarga dengan keretakan perkawinan yang kronis atau tindak
kekerasan pada pasangannya mempunyai tingkat tindak kekerasan pada anak lebih
tinggi daripada keluarga-keluarga tanpa masalah seperti ini.
• Keluarga-keluarga yang didalamnya baik suami atau istri mendominasi
pengambilan keputusan yang penting – seperti dimana mereka akan tinggal, apa
pekerjaan yang dilakukan, kapan mempunyai anak, dan berapa banyak uang yang
dihabiskan untuk makanan dan rumah – mempunyai tingkat tindak kekerasan pada
anak lebih tinggi daripada keluarga-keluarga yang di dalamnya para orang tua
membagi tanggung jawab untuk keputusan-keputusan ini.
2.3
Dampak kekerasan pada anak
Efek tindakan dari korban
penganiayaan fisik dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Ada anak
yang menjadi negatif dan agresif serta mudah frustasi; ada yang menjadi sangat
pasif dan apatis; ada yang tidak mempunyai kepibadian sendiri; ada yang sulit
menjalin relasi dengan individu lain dan ada pula yang timbul rasa benci yang
luar biasa terhadap dirinya sendiri. Selain itu Moore juga menemukan adanya
kerusakan fisik, seperti perkembangan tubuh kurang normal juga rusaknya sistem
syaraf.
Anak-anak korban kekerasan umumnya
menjadi sakit hati, dendam, dan menampilkan perilaku menyimpang di kemudian
hari. Bahkan, Komnas PA (dalam Nataliani, 2004) mencatat, seorang anak yang
berumur 9 tahun yang menjadi korban kekerasan, memiliki keinginan untuk
membunuh ibunya.
Berikut ini adalah dampak-dampak yang ditimbulkan
kekerasan terhadap anak (child abuse) , antara lain;
1) Dampak kekerasan fisik, anak yang mendapat perlakuan
kejam dari orang tuanya akan menjadi sangat agresif, dan setelah menjadi orang
tua akan berlaku kejam kepada anak-anaknya. Orang tua agresif melahirkan
anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang
menjadi agresif. Lawson (dalam Sitohang, 2004) menggambarkan bahwa semua jenis
gangguan mental ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia
ketika dia masih kecil. Kekerasan fisik yang berlangsung berulang-ulang dalam
jangka waktu lama akan menimbulkan cedera serius terhadap anak, meninggalkan
bekas luka secara fisik hingga menyebabkan korban meninggal dunia.
2) Dampak kekerasan psikis. Unicef (1986) mengemukakan,
anak yang sering dimarahi orang tuanya, apalagi diikuti dengan penyiksaan,
cenderung meniru perilaku buruk (coping mechanism) seperti bulimia nervosa
(memuntahkan makanan kembali), penyimpangan pola makan, anorexia (takut gemuk),
kecanduan alkohol dan obat-obatan, dan memiliki dorongan bunuh diri. Menurut
Nadia (1991), kekerasan psikologis sukar diidentifikasi atau didiagnosa karena
tidak meninggalkan bekas yang nyata seperti penyiksaan fisik.
Jenis kekerasan ini meninggalkan bekas yang
tersembunyi yang termanifestasikan dalam beberapa bentuk, seperti kurangnya
rasa percaya diri, kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak, menarik
diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol, ataupun kecenderungan
bunuh diri.
3) Dampak kekerasan seksual. Menurut Mulyadi (Sinar
Harapan, 2003) diantara korban yang masih merasa dendam terhadap pelaku, takut
menikah, merasa rendah diri, dan trauma akibat eksploitasi seksual, meski kini
mereka sudah dewasa atau bahkan sudah menikah. Bahkan eksploitasi seksual yang
dialami semasa masih anak-anak banyak ditengarai sebagai penyebab keterlibatan
dalam prostitusi. Jika kekerasan seksual terjadi pada anak yang masih kecil
pengaruh buruk yang ditimbulkan antara lain dari yang biasanya tidak mengompol
jadi mengompol, mudah merasa takut, perubahan pola tidur, kecemasan tidak
beralasan, atau bahkan simtom fisik seperti sakit perut atau adanya masalah
kulit, dll (dalam Nadia, 1991);
4) Dampak penelantaran anak. Pengaruh yang paling
terlihat jika anak mengalami hal ini adalah kurangnya perhatian dan kasih
sayang orang tua terhadap anak, Hurlock (1990) mengatakan jika anak
kurang kasih sayang dari orang tua menyebabkan berkembangnya perasaan tidak
aman, gagal mengembangkan perilaku akrab, dan selanjutnya akan mengalami
masalah penyesuaian diri pada masa yang akan datang.
Dampak kekerasan terhadap anak lainnya (dalam Sitohang,
2004) adalah kelalaian dalam mendapatkan pengobatan menyebabkan kegagalan dalam
merawat anak dengan baik. Kelalaian dalam pendidikan, meliputi kegagalan dalam
mendidik anak mampu berinteraksi dengan lingkungannya gagal menyekolahkan atau
menyuruh anak mencari nafkah untuk keluarga sehingga anak terpaksa putus
sekolah.
2.4 Solusi
untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak.
·
Pendidikan dan Pengetahuan Orang Tua Yang
Cukup
Dari beberapa
faktor yang telah kita bahas diatas, maka perlu kita ketahui bahwa tindak
kekerasan terhadap anak, sangat berpengaruh terhahap perkembangannya baik
psikis maupun fisik mereka. Oleh karena itu, perlu kita hentikan tindak
kekerasan tersebut. Dengan pendidikan yang lebih tinggi dan pengetahuan yang
cukup diharapkan orang tua mampu mendidik anaknya kearah perkembangan yang
memuaskan tanpa adanya tindak kekerasan.
·
Keluarga Yang Hangat Dan Demokratis
Psikolog
terpesona dengan penelitian Harry Harlow pada tahun 60-an memisahkan anak-anak
monyet dari ibunya, kemudian ia mengamati pertumbuhannya. Monyet-monyet itu
ternyata menunjukkan perilaku yang mengenaskan, selalu ketakutan, tidak dapat
menyesuaikan diri dan rentan terhadap berbagai penyakit. Setelah monyet-monyet
itu besar dan melahirkan bayi-bayi lagi, mereka menjadi ibu-ibu yang galak dan
berbahaya. Mereka acuh tak acuh terhadap anak-anaknya dan seringkali melukainya.
Dalam sebuah study terbukti bahwa IQ anak yang tinggal di rumah yang
orangtuanya acuh tak acuh, bermusuhan dan keras, atau broken home, perkembangan
IQ anak mengalami penurunan dalam masa tiga tahun. Sebaliknya anak yang tinggal
di rumah yang orang tuanya penuh pengertian, bersikap hangat penuh kasih sayang
dan menyisihkan waktunya untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya, menjelaskan
tindakanya, memberi kesempatan anak untuk mengambil keputusan, berdialog dan
diskusi, hasilnya rata-rata IQ ( bahkan Kecerdasan Emosi ) anak mengalami
kenaikan sekitar 8 point
Hasil penelitian R. Study juga membuktikan bahwa 63 % dari anak nakal pada
suatu lembaga pendidikan anak-anak dilenkuen ( nakal ), berasal dari keluarga
yang tidak utuh ( broken home ). Kemudian hasil penelitian K. Gottschaldt di
Leipzig ( Jerman ) menyatakan bahwa 70, 8 persen dari anak-anak yang sulit di
didik ternyata berasal dari keluarga yang tidak teratur, tidak utuh atau
mengalami tekanan hidup yang terlampau berat. (Ahmad, Aminah . 2006 : 1).
·
Membangun Komunikasi Yang Efektif
Kunci persoalan kekerasan terhadap anak disebabkan karena tidak adanya
komunikasi yang efektif dalam sebuah keluarga. Sehingga yang muncul adalah
stereotyping (stigma) dan predijuce (prasangka). Dua hal itu kemudian mengalami
proses akumulasi yang kadang dibumbui intervensi pihak ketiga. Sebagai contoh
kasus dua putri kandung pemilik sebuah pabrik rokok di Malang Jawa Timur. Amy
Victoria Chan (10) dan Ann Jessica Chan (9) diduga jadi korban kekerasan dari
ibu kandung mereka saat bermukim di Kanada. Ayahnya terlambat tahu karena sibuk
mengurus bisnis dan hanya sesekali mengunjungi mereka. Mereka dituntut ibunya
agar meraih prestasi di segala bidang sehingga waktu mereka dipenuhi kegiatan
belajar dan beragam kursus seperti balet, kumon, piano dan ice skating. Jika
tidak bersedia, mereka disiksa dengan segala cara. Mereka juga pernah dibiarkan
berada di luar rumah saat musim dingin.(Kompas edisi 24 Januari 2006). Kejadian
ini mungkin tidak terjadi jika ayahnya selalu mendampingi anak-anaknya.
Untuk menghindari kekerasan terhadap anak adalah bagaimana anggota keluarga
saling berinteraksi dengan komunikasi yang efektif. Sering kita dapatkan orang
tua dalam berkomunikasi terhadap anaknya disertai keinginan pribadi yang sangat
dominan, dan menganggap anak sebagai hasil produksi orang tua, maka harus
selalu sama dengan orang tuanya dan dapat diperlakukan apa saja.
Bermacam-macam sikap orang tua yang salah atau kurang tepat serta akibat-akibat
yang mungkin ditimbulkannya antara lain
·
Orang tua yang selalu khawatir dan selalu
melindungi
Anak yang diperlakukan dengan penuh kekhawatiran, sering dilarang dan selalu
melindungi, akan tumbuh menjadi anak yang penakut, tidak mempunyai kepercayaan diri,
dan sulit berdiri sendiri. Dalam usaha untuk mengatasi semua akibat itu,
mungkin si anak akan berontak dan justru akan berbuat sesuatu yang sangat
dikhawatirkan atau dilarang orang tua. Konflik ini bisa berakibat terjadinya
kekerasan terhadap anak
·
Orang tua yang terlalu menuntut
Anak yang dididik dengan tuntutan yang tinggi mungkin akan mengambil
nilai-nilai yang terlalu tinggi sehingga tidak realistic. Bila anak tidak mau
akan terjadi pemaksaan orang tua yang berakibat terjadinya kekerasan terhadap anak
seperti contoh kasus di atas.
·
Orang tua yang terlalu keras.
Anak yang diperlakukan demikian cenderung tumbuh dan berkembang menjadi anak
yang penurut namun penakut. Bila anak berontak terhadap dominasi orang tuanya
ia akan menjadi penentang. Konflik ini bisa berakibat terjadi kekerasan
terhadap anak. (Erwin. 1990 : 31 – 32).
2.5 Upaya yang dilakukan
pemeritahan
Mengsosialisasi Undang-Undang No. 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Kekerasan dalam
rumah tangga yang terjadi pada perempuan dan anak-anak merupakan masalah yang
sulit di atasi. Umumnya masyarakat menganggap bahwa anggota keluarga itu milik
laki-laki dan masalah kekerasan di dalam rumah tangga adalah masalah pribadi
yang tidak dapat dicampuri oleh orang lain. Sebetulnya Indonesia telah
meratifikasi konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan dan Undang-Undang No. 7/1984, Undang-undang no. 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak serta Undang-Undang No. 29 tahun 1999. (Suprapti, 2006 : 4).
Sering pejabat terkait seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman masih banyak
yang kurang memahami sehingga setiap ada kasus-kasus kekerasan terhadap
perempuan dan anak-anak atau Hak Azazi Manusia masih selalu mengacu pada KUH
Pidana.
Oleh karena itu kita merasa sangat perlu untuk
mensosialisasikan UU No. 23 Tahun 2004 tanggal 22 September 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, karena keutuhan dan kerukunan rumah
tangga yang bahagia, aman, tentram dan damai merupakan dambaan setiap orang
dalam rumah tangga agar dapat melaksanaan hak dan kewajibannya yang didasari
oleh agama, perlu dikembangkan dalam membangun keutuhan rumah tangga.
Sosialisasi ini bisa melalui banyak cara antara lain penayangan iklan di
televisi, melalui radio, poster, penataran, seminar dan distribusi buku UU
tersebut ke masyarakat umum, akademisi, instansi pemerintah termasuk lini
paling depan yaitu ibu-ibu PKK. UU No. 23/2004 sebetulnya masih kurang
memuaskan karena bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak masih
merupakan delik aduan, maksudnya adalah korban sendiri yang melaporkan secara
langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian. Penelitian membuktikan
bahwa kekerasan terhadap anak justru dilakukan oleh orang dekat artinya orang
yang dikenal oleh korban. Pelaku tindak kekerasan fisik dan seksual menurut
pemantauan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Lembaga Perlindungan Anak (LPA)
Jawa Barat tahun 2003 adalah orang-orang terdekat yaitu tetangga, orang tua,
paman, kakek, teman, pacar serta saudara. Hal ini dapat juga dilihat dari
lokasi tindak kekerasan paling banyak terjadi di rumah korban atau rumah
pelaku.Setidaknya ini menunjukkan bahwa pelaku adalah orang yang dekat dengan
korban. (Pikiran Rakyat, edisi 20 Januari 2006.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kekerasan
terhadap anak adalah segala bentuk perlakuan baik secara fisik maupun psikis
yang berakibat penderitaan terhadap anak.
Macam-macam
kekerasan terhadap anak:
1 . Penyiksaan
Fisik (Physical Abuse).
2. Penyiksaan
Emosi (Psychological/Emotional Abuse).
3.PelecehanSeksual(SexualAbuse).
4. Pengabaian
(Child Neglect).
Adapun faktor penyebab
terjadinya kekerasan:
1. Lingkaran
kekerasan
2. Stres dan
kurangnya dukungan
3. Pecandu
alkohol atau narkoba
4.. Menjadi
saksi kekerasan dalam rumah tangga
5. Kemiskinan
dan akses yang terbatas ke pusat ekonomi dan sosial saat masa-masa krisis.
6. Peningkatan
krisis dan jumlah kekerasan di lingkungan sekitar mereka.
Dan dampak dari
kekerasan tersebut ialah:
1) Kerusakan
fisik atau luka fisik;
2) Anak akan
menjadi individu yang kukrang percaya diri, pendendam dan agresif
3) Memiliki
perilaku menyimpang, seperti, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat
dan alkohol, sampai dengan kecenderungan bunuh diri;
4) Jika anak
mengalami kekerasan seksual maka akan menimbulkan trauma mendalam pada anak,
takut menikah, merasa rendah diri.
3.2
Saran
Dokter sebagai
klinisi yang bertugas di lapangan harus mempunyai kemampuan dalam mengenali
segala kemungkinan bentuk penyiksaan dan penelantaran anak, terutama sekali
dari kunjungan pasien ke tempat prakteknya. Manifestasi klinis yang didapatkan
pada korban penyiksaan dan penelantaran anak jelas berbeda dengan manifestasi
klinis pada kasus kecelakaan biasa. Sehingga diharapkan dokter dapat lebih jeli
dalam mengenalinya.
Dokter
mempunyai kewajiban untuk mendata bentuk penyiksaan itu dan kemudian
bekerjasama
dengan pihak
lain seperti pekerja sosial dan penegak hukum dalam penindaklanjutan kasus
penyiksaan dan penelantaran anak.
Orangtua
juga mempunyai kewajiban mendidik anaknya dengan baik tidak berupah dengan
kekerasan fisik atau mental.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Huraerah.
(2006). Kekerasan Terhadap Anak Jakarta :Penerbit Nuansa,Emmy
Soekresno S.
Pd.(2007). Mengenali Dan Mencegah Terjadinya TindakKekerasan
Terhadap Anak.
Mafrukhi dkk. (2006). Kompeten
Berbahasa Indonesia. Jakarta :Penerbit Erlangga.
Sumber : Komisi Perlindungan Anak Indonesia,http://www.kpai.go
. Didwonload
September
2007.http://www.setneg.go.id
UU PA No. 23 Tahun 2003 tentang
Perlindungan Anak